Thursday, July 1, 2010

PENGELOLAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL YANG BERSTATUS SEBAGAI BARANG MILIK NEGARA

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 Tahun 2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan memberikan tugas kepada DJKN antara lain untuk melaksanakan penyiapan rumusan kebijakan dan standardisasi, penyusunan sistem dan prosedur, dan tindak lanjut keputusan perubahan status kekayaan negara lain-lain, penatausahaan dan penyusunan daftar, pemberian bimbingan teknis, perencanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi atas pelaksanaan pengelolaan kekayaan negara lain-lain sebagai akibat adanya ketentuan, penetapan atau pengalihan aset sebagai kekayaan negara yang dikelola Menteri Keuangan antara lain kekayaan negara yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual (HKI). Berdasarkan WTO, dalam perundingan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) telah disepakati mengenai norma-norma dan standar perlindungan HKI yang meliputi :
a. Hak Cipta dan hak-hak lain yang terkait;
b. Merek dagang;
c. Indikasi Geografis;
d. Desain Produk Industri;
e. Paten, termasuk Perlindungan Varietas tanaman;
f. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
g. Perlindungan Terhadap Informasi yang dirahasiakan;
h. Pengendalian Praktek-praktek Persaingan Curang dalam perjanjian Lisensi
Menurut Budi Agus Riswandi, Dosen Tetap Fakultas Hukum UII & Direktur Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual FH UII, pada saat ini ada sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati,yaitu kecenderungan pembangunan ekonomi bangsa yang berbasis pada pengetahuan (economy based knowledge). Pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan pada dasarnya merupakan bentuk pembangunan ekonomi yang kini banyak diterapkan oleh Negara-negara maju. Maka, tidaklah mengherankan model ekonomi yang berbasis kepada pengetahuan ini banyak diminati oleh Negara-negara didunia. Ada beberapa kelebihan yang dapat diidentinfikasi, sehingga ketertarikan Negara terhadap pengembangan ekonomi ini sangat tinggi. Salah satu model pembangunan ekonomi yang berbasis pada pengetahuan, yakni berupa penerapan sistem HKI. Fakta menunjukan bahwa banyaknya jumlah paten yang dihasilkan dalam sebuah negara akan berbanding lurus dengan kemajuan teknologi dan ekonomi di negara tersebut Bila melihat trend saat ini HKI merupakan alat yang ampuh untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa (a powerful tool for economic development)5
Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari kekayaan Negara yang tidak berwujud. Berdasarkan pendapat para ahli, potensi HKI ini merupakan potensi yang sangat besar yang selama ini belum tergali oleh Bangsa Indonesia. Trend yang ada pada saat ini di Negara-negara maju pada umumnya cenderung telah memanfaatkan HKI dengan baik, karena potensi HKI tidak akan pernah habis dibandingkan dengan potensi alam. Hak Kekayaan Intelektual yang pertama kali harus mendapatkan perhatian dari DJKN adalah paten, karena berkaitan langsung dengan penelitian yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. Pada umumnya paten dikelola oleh lembaga penelitian dan pengembangan, dan mencakup berbagai jenis variasi dari mulai paten mesin yang dimiliki LIPI hingga paten terhadap varietas benih padi yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian. Pada saat ini pengelolaan HKI dalam bentuk administrasi berada pada Kementerian Hukum dan HAM sedangkan pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi diserahkan ke masing-masing lembaga penelitian dan pengembangan dalam suatu wadah yang dinamakan sentra HKI. Namun, aturan-aturan pengelolaan HKI yang berstatus barang milik negara yang diatur dalam undang-undang ini ternyata belum dapat terimplementasi dan dipatuhi, sehingga pengelolaan HKI masih dilaksanakan sendiri-sendiri dan diserahkan ke masing-masing institusi lembaga penelitian dan pengembagan.
Penataan dan pengelolaan kekayaan Negara yang baik sangat dibutuhkan oleh Negara Indonesia pada saat ini, dan harus mencakup kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud. Terminologi pengaturan kekayaan Negara khususnya barang milik Negara yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 pada umumnya mencakup pengaturan untuk barang berwujud baik berupa benda tidak bergerak yaitu tanah/bangunan, maupun benda bergerak yang pembeliannya dibiayai dari APBN, sehingga menurut pendapat Penulis PP 6 Tahun 2006 belum cukup dijadikan dasar untuk melakukan pengelolaan barang yang tidak berwujud khususnya HKI.
Aturan dalam PP 6 Tahun 2006 yang tidak dapat diterapkan dalam pengaturan HKI adalah sebagai berikut:
a) Pemanfaatan
Istilah pemanfaatan yang berlaku dalam aturan HKI sama dengan kegiatan komersialisasi HKI, atau kegiatan untuk memberikan nilai ekonomi HKI yang tentunya berdampak pada masukan terhadap HKI yang dikomersialisasikan. Pada HKI yang berstatus BMN tentunya sudah dapat dipastikan bahwa hasil komersialisasi tersebut sepenuhnya harus masuk ke kas negara. Namun, dalam Undang-undang Paten telah diatur bahwa peneliti mempunyai hak atas hasil HKI yang telah dikomersialisasikan. Disharmonisasi aturan ini harus dapat ditengahi dalam aturan HKI nanti karena insentif bagi seorang peneliti merupakan daya rangsang untuk senantiasa melakukan inovasi. Jika insentif tidak diatur secara tegas akan menimbulkan moral hazard bagi para peneliti seperti illegal licensing dan illegal spin off . LIPI menghendaki agar insentif harus mempunyai ruang gerak yang lebih leluasa, dana penelitian dan dana riset hendaknya mempunyai porsi yang lebih besar jika Indonesia ingin menjadi membangun negara berbasis ilmu pengetahuan. Dari permasalahan tersebut, diharapkan agar Kementerian Keuangan dalam hal ini Dirjen Kekayaan Negara dapat melakukan harmonisasi peraturan pengelolaan HKI yang berstatus BMN dengan aturan yang berlaku di bidang HKI.
b) Pemindahtanganan
Bentuk-bentuk pemindahtanganan yang diatur dalam PP 6 Tahun 2006 adalah penjualan, tukar menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah. Pemindahtanganan merupakan perbuatan hukum mengalihkan kepemilikan dari suatu barang. Paten atau pemilikan paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian yang diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001. Pengalihan paten bisa disebabkan oleh pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan paten harus disertai dokumen asli paten berikut hal lain yang berkaitan dengan paten tersebut, serta harus dicatat dan diumumkan, mengingat paten merupakan hak milik yang diberikan oleh Negara sehingga pemakaian, pemanfaatan atau penggunaannya dibatasi dengan kurun waktu tertentu yaitu 20 tahun. Sebagai hak milik, pengalihan paten hanya dapat dilakukan oleh inventor atau oleh yang berhak atas invensi tersebut kepada perorangan atau badan hukum. Dalam pengalihan paten, yang beralih adalah hak ekonominya saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada Inventornya. Hak moral ini tetap mengikuti Inventor sampai kapanpun walapun patennya sudah berakhir. Disamping objek hak tersebut, yang perlu juga diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah tentang hak monopoli yang dimiliki oleh penemu untuk melaksanakan atau mendayagunakan hasil temuannya tersebut, sehingga atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya, atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya. Izin ini dinamakan lisensi. Lisensi merupakan alat dasar dalam perdagangan HKI.
Terhadap paten yang merupakan barang milik negara harus dicarikan formulasi siapakah yang menjadi pemegang lisensi atas HKI tersebut, apakah akan disamakan dengan ketentuan yang berlaku dalam BMN yang berwujud, dimana dalam ketentuan yang berlaku saat ini setiap perbuatan hukum seperti pemanfaatan dan pemindahtanganan harus selalu mendapatkan izin dari Pengelola Barang dalam hal ini adalah Menteri Keuangan, ataukah mengikuti aturan yang berlaku dalam HKI.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dimana pekerja dibiayai oleh pemerintah dari dana APBN serta melakukan penelitian dengan menggunakan semua fasilitas negara, maka jelas berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Paten, yang memiliki paten adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut artinya adalah pemerintah. Pemerintah dalam hal ini merupakan Kementerian/Lembaga yang aktif dalam penelitian-penelitian yang dibiayai dari APBN. Berdasarkan hal tersebut seharusnya DJKN juga memperhatikan aturan tentang lisensi jika HKI akan dimanfaatkan yang telah diatur dalam Undang-undang Paten ini.
c) Penilaian
Mekanisme penilaian barang milik negara telah ditetapkan dalam suatu peraturan menteri keuangan tentang penilaian barang milik negara berupa tanah dan atau bangunan, namun untuk HKI belum diatur secara jelas. LIPI menghadapi kendala ketika Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan mereka, karena terdapat perbedaan persepsi tentang unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam meperoleh nilai. Berdasarkan pendapat BPK nilai HKI meliputi biaya riset, biaya yang dikeluarkan oleh peneliti, dan biaya komersialisasi, sedangkan LIPI berpendapat bahwa nilai dibentuk berdasarkan pendekatan harga pasar, modal dan ekonomi. Nilai HKI sangat penting artinya untuk menentukan harga komersialisasi sebuah HKI, sehingga LIPI mendorong agar Kementerian Keuangan segera menetapkan standardisasi aturan nilai dari suatu HKI.
Berdasarkan hal tersebut tidak pelak lagi, maka kebutuhan Indonesia akan adanya aturan pengelolaan atau manajemen aset yang baik merupakan hal yang mutlak harus dilaksanakan dan mencakup seluruh harta kekayaan negara baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

No comments:

Post a Comment