Monday, October 31, 2011

Maafkan Aku Suamiku, Aku Tak Bisa Penuhi Hakmu Saat ini


Hak-hak seorang suami tatkala dilaksanakan oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka akan berbuah pahala. Namun tentunya hak-hak tersebut tidak melanggar hak-hak Allah. Misalnya salah satu hak suami terhadap istri adalah melayaninya ditempat tidur (jima’). Bahkan jika isteri tidak mematuhinya, malaikat pun akan ikut marah terhadap sang istri yang menolak suaminya tersebut.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:
Jika seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu istrinya enggan sehingga suami tidur dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi.” (HR Muslim (2/1060))
Namun disuatu kondisi, sang istri memang tidak boleh melayani suami yaitu saat haidh. Butuh pengertian yang didasari ilmu bagi para suami agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan fatal. Mengapa demikian? Karena jima’ dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)
Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)
Sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam,
“Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302)
Sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menjelaskan bahwa jima’ saat haidh hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Syaikh Utsaimin rahimahullah bahwa seorang suami haram menggauli istrinya saat haid dan haram pula bagi istrinya melayaninya. (Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah)
Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi suami untuk bercumbu dengan istrinya tanpa jima’. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa’di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima’ boleh.
Dari Aisyah radhiyallahu’anha berkata “Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187))
Dari Maimunah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang.” (HR. Bukhari:64)
Batas Waktu Menjauhi Wanita Haidh
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222)
Sampai mereka suci‘ artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa’di jilid 1,hal 358)
Menurut Al-Lajnah ad Daimah, ada 2 syarat kehalalan suami boleh berjima’ dengan istri (yang haid): terputusnya darah haid dan mandi suci. Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah, yang artinya: “janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Qs Al Baqarah:222
Dalam Tafsir As Sa’di jilid 1 hal 358, “Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” maksudnya harus meninggalkan mencumbu bagian yang dekat kemaluan yaitu bagian diantara pusar dan lutut, sebagaimana Nabi melakukannya, bila beliau mencumbu istrinya pada saat istrinya itu sedang haidh beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbunya. Sedangkan “Apabila mereka telah suci ” maksudnya sang istri telah mandi.
Bagaimana jika jima’ dengan istri yang haid karena tidak sengaja atau tidak tahu tentang hukumnya?
Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 mengatakan “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan wanita yang sedang haid melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, misalnya jika ia melaksanakannya karena lupa atau karena tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu bahwa hal tersebut haram atau karena dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarah. Namun jika ia mencampuri wanita yang sedang haid dengan sengaja dan tahu bahwa dia sedang haid dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii rahimahullah bahwa perbuatannya adalah dosa besar,dan wajib bertaubat.’
Jika sudah terlanjur mencampuri istrinya dalam keadaan haid, ada dua pendapat :
  1. Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia wajib membayar tebusan (kafarah). Pendapat ini diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi. Syaikh Abdul “Azhim bin Badawi dalam kitabnya Al Wajiiz fi fiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang mewajibkan membayar kafarah.
  2. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu: Dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah 1 dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, Aunul Ma’bud I:445 no 261, Nasa’i I :153, Ibnu Majah I:210 no:640)
  3. Sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak mewajibkan membayar tebusan. Sebagimana pendapat yang diambil oleh madzab Hanafiyyah dan yang dikuatkan Syaikh Musthofa al-Adawi bahwa disunnahkan kafarat atas orang yang menggauli istrinya pada saat haid. Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat mengenai keshahihan dalil-dalilnya.
Berapakah besar Kafarrah yang harus Dibayar?
Ada beberapa pendapat para ulama tentang masalah ini:
  1. Ada perbedaan jumlah kafarrah jika jima’ dilakukan diawal atau akhir waktu haidh
  2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu secara mauquf,ia berkata,’Jika ia bercampur dengan isterinya diawal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah 1 dinar dan jika di akhir keluarnya darah maka setengah dinar.’ (Abu Daud no:238 dan “Aunul Ma’bud I:249 no 262) Pendapat inilah yang diambil oleh madzab Imam Syafii
  3. Menurut Imam Ahmad bahwa jika darah haid berwarna merah maka ukurannya adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka ukurannya setengah dinar.(Ma’alim Sunan karya Al Khithabi (1/181).
  4. Menurut syaikh Albani rahimahullah, kafarah dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya.
Catatan tambahan: 1 dinar = 4,25 gr emas, adapun nilai dinar disesuaikan dengan mata uang setempat.
Apakah Kafarrah juga dibayarkan oleh isteri?
Jika isteri melayaninya dengan sukarela maka ia harus membayar kaffarah, tetapi jika ia melakukan karena paksaan maka ia tidak harus membayar tebusan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
“Umatku dimaafkan karena salah,lupa dan apa-apa yang dipaksakan atasnya.”
(Lihat Az-zakah wa Tathbiqatihan hal 91)
Semoga dengan pembahasan yang sedikit ini dapat menambah pengetahuan wanita tentang hal yang penting namun terkadang dianggap tabu. Jika memang sang suami belum mempunyai pemahaman mengenai hal tersebut, hendaklah sang istri yang berusaha menjelaskannya dengan semampunya agar tidak terjerumus kedalam kekhilafan. Ingatlah wahai saudariku, tunaikanlah hak Allah terlebih dahulu daripada hak suamimu.
Wallahu a’lam.
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Hamzah Galuh Pramita
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Rujukan:
  • Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah, Khalid al-Husainan (terj),Darul Haq
  • Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah Fi Fiqhil Kitaab wa Sunnatil Muthoharah, Syaikh Husein bin “Audah Al “Uwaisah
  • Al Wajiiz fifiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz (terj),Pustaka As Sunnah
  • Isyarat fi Ahkamil Kaffart, Prof Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-thayyar (Terj),Pustaka Al Sofwa
  • Tafsir As Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di (terj),Pustaka Sahifa

Wednesday, October 26, 2011

KEBEBASANKU TELAH TERENGUT...

Ini tulisan saya bukan copas, sedikit agak curhat sih, tapi gak apa2 lah ya...

Tahun 1993 adalah tahun kelulusanku dari sebuah Fakultas Hukum di Universitas ternama di kota Bandung, titel sarjana hukum ini merupakan kebanggaan yang berhasil aku persembahkan pada kedua orang tuaku. Betapa tidak, karena dengan segala keterbatasan ekonomi bahkan hampir setiap semester aku kesulitan membayar SPP yang padahal nilainya pada waktu itu adalah Rp 90.000,00, aku berhasil menyelesaikan studiku dalam waktu 4 tahun. Dari kecil aku memang termasuk dalam kategori miskin sehingga aku bercita-cita ingin menjadi orang kaya, agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku.

Tahun 1996 aku mengikuti tes PNS di sebuah Departemen yang punya tunjangan gaji paling tinggi diantara Departemen lainnya, alhamdulillah, karena doa kedua orang tuaku aku berhasil lolos menyisihkan saingan hampir 17.000 orang, sebuah jumlah yang sangat fantastis di masa itu.

Karena rahmat dan barokah dari Allah, aku berhasil meniti karier sampai menjadi seorang manajer kecil. Tahun 2007 Departemenku melakukan reformasi birokrasi yang kemudian berdampak pada remunerasi. pada saat itu tidak terperikan kebahagiaan menerima gaji sebagai seoerang PNS tapi gaji level manajer swasta. Tapi ternyata dibalik itu semua, konsekuensi disiplin yang tinggi, kompetensi yang juga selalu dituntut untuk terus meningkat serta hal-hal lain yang biasa diterapkan di perusahaan swasta, membuatku terengah-engah juga. Bayangkan, kegiatan rutin setiap hari yang ada di benakku adalah datang ke kantor tanpa terlambat, karena mesin absen sudah menunggu. Setelah itu kinerja dan target selalu dipantau, setelah itu kompetensi dipantau setiap 2 (dua) tahun sekali. Buatku sungguh tidak terbayangkan.

 Setahun, dua tahun aku sangat menikmati reformasi birokrasi dan masih merasakan manisnya bergelimang uang begitu pula keluargaku yang sangat mendukung kesuksesanku, tapi... sekarang, ketika anak beranjak akil baligh mulai terasa, bahwa ternyata waktu dan kebebasanku sudah direngut oleh yang namanya uang dan jabatan.
Haruskah aku bertahan disini? sementara anak-anak sangat membutuhkan perhatianku....uang memang dapat membeli segalanya tapi uang ternyata bukan segala-galanya, karena aku ternyata tidak bisa membeli kebebasanku, waktuku sudah habis untuk kepentingan kantor dan untuk kepentingan negara. Kepentingan keluargaku sudah kutukar dengan kepentingan negara. Saatnya untuk menentukan langkahku, apakah harus memilih sukses sendiri ataukah kesuksesan anak2ku. Mungkin aku akan memilih alternatif 2 karena anak bagiku adalah segala-galanya, mereka investasi bagi akhiratku, aku tidak ingin hanya gara-gara uang dan jabatan, di masa tuaku aku disia-siakan mereka, sebagaimana aku menyia-nyiakan mereka, aku tidak ingin ketika aku mati, tiada sebaris doapun terpanjat dari mulut anak-anakku karena mereka tidak tahu cara melantunkan doa, naudzubillah...







Monday, October 24, 2011

DARAH


Apakah darah itu najis/suci?

Syeikh 'Utsaimin menjawab:

Yang pertama:
Darah yang keluar dari hewan yang najis maka sedikit/banyaknya najis, contoh darah yang keluar dari babi/anjing baik ketika hewan tersebut hidup ataupun mati.

Yang kedua:
Darah yang keluar dari hewan yang suci ketika masa hidupnya dan najis ketika sudah mati. Ketika hidupnya maka darah itu najis akan tetapi dimaafkan jika hanya sedikit.

Dalil yang menjelaskan najisnya darah tersebut ketika hewan itu sudah mati adalah firman Allah: "Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor-..." (Al An'am: 145)

Yang ketiga:
Darah yang keluar dari hewan yang ketika hidup dan matinya adalah suci maka darah itu suci. Yang dikecualikan dari hal ini adalah  darah manusia karena pada waktu hidupnya adalah suci begitupun ketika meninggal. Walaupun begitu, jumhur ulama mengatakan najis akan tetapi dimaafkan jika sedikit.

Yang keempat:
Darah yang keluar dari qubul dan dubur maka darah ini najis dan tidak dimaafkan walaupun sedikit, karena Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-  ketika ditanya oleh para wanita tentang darah haidh yang terkena baju, beliau memerintahkan untuk mencucinya tanpa diperinci.

Adapun darah yang keluar selain dari kedua jalan itu maka tidak membatalkan wudhu baik sedikit ataupun banyak, seperti mimisan atau luka.

Ini adalah beberapa jenis darah yang kami bagi jika keluar dari hewan yang hidup, adapun jika keluar dari hewan yang sudah mati yang disembelih secara syar'i maka itu adalah suci.


3 (TIGA) HAL YANG DIMAAFKAN ALLAH (REPOST FROM GRUP AL ILMU)


3 hal yg dimaafkan Allah#

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ [حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما]

* Kosa kata :

تجاوز : Melewatkan, memaafkan
النسيان : Lupa
استكرهوا  : (Mereka) dipaksa
الْخَطَأُ : berbuat sesuatu tanpa disengaja.

* Terjemah hadits :

dr Ibnu Abbas radiallahuanhuma : Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda : Sesungguhnya Allah taala memaafkan umatku karena aku (disebabkan beberapa hal) : Kesalahan, lupa & segala sesuatu yg dipaksa

* Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dr jalan al-AuzaI dr Atho dr ibnu Abas scr marfu. Ibnu Hibban juga meriwayatkannya dlm kitab shohihnya & ad-Daraquthni dlm sunannya. Demikian juga al-Haakim dlm al-Mustadzrok. Hadits ini dinilai shohih oleh syeikh al-Alaamah Muhammad Nashiruddin al-Albani dlm kitab Shohih Jami ash-Shoghir wa Ziyadatuhu no. 1731.

* Penjelasan Hadits

Umat nabi Muhammad ada dua; umat dakwah & umat ijabah. Umat dakwah adalah semua manusia & jin dr sejak beliau diutus hingga hari kiamat. Sedangkan umat ijabah adalah org-org yg mendapatkan taufiq mengikuti agama beliau yg lurus & menjadi kaum muslimin. & yg dimaksud dg umat disini adalah umat ijabah.

dlm hadits ini Rasululloh menjelaskan bahwa Allah memaafkan dr umat ijabah tiga hal yaitu kesalahan, lupa & segala sesuatu yg dipaksa. dg demikian maka org yg melakukan pelanggaran karena kesalahan yg tdk disengaja atau melakukannya karena lupa & terpaksa.

Banyak dalil yg mendukung hal ini.
Tentang lupa & salah Allah berfirman:
"Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jk kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kpd kami beban yg berat sebgmn Engkau bebankan kpd org-org yg sblm kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kpd kami apa yg tak sanggup kami memikulnya...
.Beri maaflah kami; ampunilah kami; & rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yg kafir". (QS. 2:286)

& firman Allah:
& tdk ada dosa atasmu terhadap apa yg kamu khilaf padanya, tetapi (yg ada dosanya) apa yg disengaja oleh hatimu.& adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahazab / 33:5)

rasulullohpun pernah bersabda:
" مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْفَقْرَ وَ لَكِنِّيْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّكَاثُرَ ، وَ مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْخَطَأَ وَ لَكِنِّيْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّعَمُّدَ "
Aku tdk takut atas kalian kefakiran akan tetapi aku takut atas kalian berlomba-lomba dg harta & aku tdk takut atas kalian kesalahan yg tdk disengaja namun aku takut atas kalian kesengajaan. (HR Ahmad, al-haakim & Ibnu Hibaan & dinilai Shohih oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dlm kitab silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 2216 (5/250)).

* Lanjutan penjelasan hadits:
sedangkan terpaksa disampaikan dlm firman Allah:
yg demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dr akhirat, & bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kpd kaum yg kafir. (QS. An-Nahl /16:107)

Namun bila merusak milik org lain maka harus menanggung kerugiannya, karena berhubungan dg hak manusia, seperti membunuh tanpa sengaja (Qatlu al-Khatha) maka tetap diwajibkan membayar diyat dg kafarahnya. Akan tetapi bila ia dipaksa u/ membunuh org lain maka terlarang baginya membunuh menurut ijma, karena tdk boleh bertahan hidup dg membunuh org lain.

 Pelajaran yg terdapat dlm hadits:

1. Keluasan rahmat Allah kpd hamba hambaNya, dmn Ia memaafkan dosa dr mereka apabila berasal dr kelupaan, ketidak sengajaan atau keterpaksaan.

2. Allah taala mengutamakan umat ini dg menghilangkan berbagai kesulitan & memaafkan dosa kesalahan & lupa.

3. Sesungguhnya Allah taala tdk menghukum seseorg kecuali jk dia sengaja berbuat maksiat & hatinya telah berniat u/ melakukan penyimpangan & meninggalkan kewajiban dg sukarela .

4. Manfaat adanya kewajiban adalah u/ mengetahui siapa yg taat & siapa yg membangkang.

5. Seluruh larangan Allah bila dilakukan manusia karena tdk tahu, lupa atau terpaksa maka tdk ada hukuman dlm perkara yg berhubungan dg hak Allah.
Sedangkan yg berhubungan dg hak manusia maka tdk dimaafkan dr sisi menanggung kerugian tsb. Contohnya; seorg memotong rambutnya dlm keadaan ihrom karena tdk tahu, maka ia tdk dikenakan hukuman atau org yg berbicara dlm sholat dlm keadaan lupa, maka sholatnya tetap sah. Demikian juga org yg membunuh org lain tanpa sengaja maka ia tdk berdosa namun tetap membayar diyat & kafarah karena berhubungan dg hak manusia.

6. Tiga hal diatas menjadi sebab keringanan & penghalang beban takilf.

7. Tiga hal ini menjadi sebab keringanan dlm hak-hak Allah karena dibangun diatas maaf & rahmat

8. Lupa termasuk sifat manusia yg melekat padanya.

9. Allah tdk membebani manusia diluar kemampuannya.


SUBHAT2 DALAM BERJILBAB ( REPOST FROM GRUP AL ILMU) BAG 5


Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.

Saudariku Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.

Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.

Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdoa kepada-Nya, Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).

SUBHAT2 DALAM BERJILBAB ( REPOST FROM GRUP AL ILMU) BAG 4


Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.

Wahai saudariku Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!

Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?